Masjid Sunan Bonang

Masjid yang didirikan oleh Sunan Bonang di Desa Bonang Kec. Lasem hanya dalam waktu satu malam.

Ndalem Kanjeng Sunan Bonang

Ndalem dan tempat Kanjeng Sunan Bonang dimakamkan.

Pasujudan Sunan Bonang

Pasujudan Sunan Bonang adalah tempat favorit Sunan Bonang untuk bermunajat mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Acara Bende Becak

Bende Becak adalah salah satu alat yang digunakan Sunan Bonang untuk berdakwah menyebarkan agama Islam.

Suasana Haul Sunan Bonang

Suasana Haul Sunan Bonang di Pesarean Sunan Bonang.

Album Foto - Acara Bende Becak 1433 H / 2012 M
















































RIWAYAT WATU LAYAR DAN ADON AYAM


Sebagaimana telah diterangkan, Kanjeng Sunan Bonang mempunyai seorang santri yang  bernama K. Nagur. Kecuali sebagai santri, K. Nagur juga bertugas membantu keperluan rumah tangga Kanjeng Sunan.
Pada suatu hari ada sebuah perahu memuat barang dagangan, perahu tersebut milik Dang Puhawang. Anehnya perahu itu tidak melalui laut sebagaimana kebiasaan, tetapi berjalan melalui udara, lewat  di atas Kebo Masnya Kanjeng Sunan Bonang. Tanpa diduga, perahu tersebut berhenti tidak dapat berjalan, sebab melintasi seekor Kebo Masnya Sunan Bonang yang sedang jerum di laut. Juragan Dang Puhawang merasa heran, mengapa perahu yang ditumpagi tidak bisa berjalan. Atas kejadian tersebut oleh Sang Juragan lalu ditayakan kepada juru  mudi ialah yang bernama Brajak Ngilo.
Oleh Brajak Ngilo hal itu dilaporkan kepada Dang Puhawang. Karena kemarahan Dang Puhawang, Kerbau Mas tersebut  disabda dan masuk ke dalam air laut yang dalam. Seperti kebiasaan  Kebo Mas milik Sunan Bonang pulang tanpa ada yang mengawal, tetapi sore itu kerbau itu tidak kelihatan pulang. Maka K. Nagur pergi ke laut untuk mencari kerbau tersebut dan kedapatan bahwa kerbaunya masuk ke dalam air laut yang dalam. Setelah Sunan Bonang  mendengar laporan K. Nagur  serta mengetahui bahwa ini perbuatan Dang Puhawang, maka oleh Sunan Bonang perahu milik Dang Puhawang itu disabda dan perahu itu terjungkir.
Layar perahu tersebut jatuh di Bonang menjadi batu yang sekarang menjadi Watu Layar, perahunya jatuh di sebelah selatan kota Lasem. Dang Puhawang lari menghilang. Brajak Ngilo  datang ingin mengadu kasaktian dengan Sunan Bonang. Brajak Ngilo mengajak  Sunan Bonang untuk menyabung ayam. Brajak Ngilo membawa seekor ayam yang terbuat dari kayu, maka untuk mengatasinya Sunan Bonang membuat seekor ayam terbuat dari tatah. Akhirnya ayam Sunan Bonang dapat mengalahkan ayamnya Brajak Ngilo. Tempat yang digunakan untuk mengadu itulah yang nantinya disebut Adon Ayam.

BERDIRINYA MASJID SUNAN BONANG

Desa Bonang yang kita kenal sekarang ini, yang terletak dalam wilayah Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang, sebelum menjadi desa adalah merupakan sebuah hutan yang terkenal dengan sebutan Alas Kemuning. 
Maka dengan berdiriya sebuah masjid yang dibuat oleh Sunan Bonang secara tiba-tiba karena kekramatan seorang wali kekasih Allah, menjadikan masyarakat sekitar menjadi heran, sebab dipandang sebagai kejadian yang aneh, sehingga masyarakat Bonang sangat ingin datang untuk melihat adanya masjid tersebut. Rakyat Bonang saat itu tidak menamakan masjid, tetapi menyebutnya Omah Gede (Rumah Besar). 

Waktu itu Sunan Bonang termasuk orang yang dituakan, sehingga rakyat disitu sangat tunduk dan menghormati akan kepribadian Kanjeng Sunan Bonang. Kesempatan yang baik itu beliau gunakan untuk bertabligh dan mengajarkan tentang maksud agama Islam. 

Mulai saat itulah para santri-santri berdatangan, baik mereka yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur atau Jawa Barat untuk berguru dan menimba ilmu dari Sunan Bonang.

KIAI JEJERUK DI DESA BONANG

Nama asli dari Kyai Jejeruk (Mbah Jejeruk) adalah Raden Abdur Rokhman, setengah riwayat mengatakan beliau bernama Sultan Makhmud. Beliau adalah raja dari kerajaan Minangkabau. 

Ketika ayahnya wafat, Sultan Makhmud mendapat tinggalan warisan sebuah kitab, tetapi sayangnya beliau belum dapat memahami arti yang terkandug dalam kitab tersebut.

Untuk itu beliau pergi sampai ke Mesir dan Mekah untuk mencari seorang guru yang dapat menerangkan maksud atau arti dari kitab yang dimilikinya, tapi hasilnya sia-sia. Sehingga hatinya bertambah susah, mengapa beliau mendapat warisan sebuah kitab yang tidak diketahui maksudnya.

Kebetulan ada seorang pengail yang mengetahui bahwa di tanah Jawa ada ulama yang sangat alim, tentang hal tersebut disampaikan kepada Patih dan oleh Sang Patih kabar tersebut disampaikan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bergembira dan memutuskan untuk segera berangkat ke tanah Jawa untuk menemui Kiai yang dimaksud.

Dengan perbekalan yang cukup berangkatlah Sultan Mahmud beserta patihnya dengan menumpang sebuah perahu besar, sayang ditengah perjalanan datanglah angin kencang yang mengakibatkan perahu tadi terguling. Semua perbekalan beserta kitab beliau hilang, masuk ke dasar laut.

Sultan Mahmud susah karena hilangnya sebuah kiab yang sangat berharga. Karena kebingungannya itu, Sultan Mahmud bermaksud untuk kembali ke kerajaan. Oleh Sang Patih hal tersebut tidak disetujui. Dengan rasa berat, diteruskalah perjalanannya hingga dapat menemui Sang Kiai.

Di hadapan Sang Kiai (Kanjeng Sunan Bonang) Sultan Mahmud memperkenalkan diri, maksud kedatangannya beserta musibah yang menimpa dalam perjalanannya. Tiba-tiba Sang Kiai mengeluarkan sebuah kitab dari sakunya, dan menanyakan apakah kitab ini yang dimaksud. Setelah diteliti oleh Sang Raja, benar bahwa kitab itu adalah miliknya. Seketika itu Sultan Mahmud melepas pakaian dan pangkat kesultanan, sujud (sungkem) dihadapan Kanjeng Sunan Bonang tetapi hal itu dicegah oleh Kanjeng Sunan.

Kanjeng Sunan Bonang mulai membaca dan menerangkan semua isi yang terkandung dalam kitab tadi dan akhirnya difahami oleh Sang Raja. Setelah Sang Raja memahami semuanya, beliau memerintah kepada Sang Patih untuk kembali ke Minangkabau dengan beberapa pesan :

1. Beliau (Sultan Mahmud) akan menetap di tanah Jawa (Bonang)
2. Memberi kebebasan kepada Sang Putri Ratu (istri) untuk memilih tetap tinggal di keraton, atau menyusul ke Jawa.
3. Menyerahkan tahta kerajaan kepada adik baginda raja, untuk memegang pusat pemerintahan Minangkabau.

Karena kesetiaan sang putri kepada sang suami Baginda Raja, maka beliau tetap memilih untuk menyusul ke tanah Jawa, waau harus melepas tahta kerajaan. Akhirnya Sultan Mahmud beserta istri menjadi murid yang setia dari Kanjeng Sunan Bonang.

Keduanya terangkat menjadi Waliyyullah, bermukim dan wafat di bumi Bonang.

Sejarah Putri Cempo di Desa Bonang

Setengah riwayat menyebutkan bahwa Putri Campa nama aslinya Dewi kasyifah putri S. Ibrahim Asmarakandi. Ketika masih kecil Putri Campa pergi menutut ilmu hingga sampai di negeri Campa. 

Seorang ahli sejarah meyebutkan bahwa Campa terletak di Kamboja (Indocina ), tetapi yang lain menyebutkan bahwa Campa terletak di Aceh.

Di Negara Campa tersebut Kasyifah diambil anak angkat oleh seorang Tionghoa (Cina). Setelah diambil sebagai anak angkat, nama Kasyifah diganti dengan nama Indrawati. Setengah riwayat juga meyebutkan bahwa Kasyifah juga bernama Asiyah.

Oleh orang Cina tersebut Indrawati dihadiahkan kepada Raja Majapahit Prabu Brawijaya ke V, dengan suatu permintaan agar bangsa Cina diperbolehkan untuk tetap tinggal di tanah Jawa dan dijaga keselamatanya.

Prabu Brawijaya sangat terkesan dan tertarik akan kecantikan Dewi Indrawati, beliau menerima hadiah tersebut dengan senang hati, serta meluluskan permintaan Cina tersebut . Dari hasil perkawinan Prabu Brawijaya dengan Dewi Indrawati lahirlah R. Sultan Patah yang nantinya akan bergelar sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak Bintoro.

Setelah Raden Patah ditetapkan oleh para Wali Tanah Jawa dalam musyawarahnya di Ngampel sebagai Sultan Kerajaan Demak yang berkuasa sekitar tahun 1500 - 1518 M . Saat itu Dewi Indrawati berkeinginan untuk menengok putranya yang dikabarkan telah menjadi Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro. Kedatangan Dewi Indrawati, di Demak sedang berlangsung Musyawarah Para Wali untuk membahas perkembangan agama Islam di tanah Jawa. Atas permintaan R. Ibrahim Sunan Bonang, serta persetujuan R. Patah beserta Ibunya Dewi Indrawati diajak ke Bonang Lasem untuk mengajar dan dan memimpin para Muslimat di Bonang. Akhirnya Putri Campa/Dewi Indrawati ibu Raden Patah menjadi muballighah hingga akhir hayatnya. Beliau wafat dan dimakamkan di dekat Pasujudan Kanjeng Sunan Bonang di desa Bonang Lasem.

RIWAYAT BENDE BECAK


Bende Becak yang terdapat di desa Bonang, yang pada setiap tanggal 10 Besar/Dzulhijjah diadakan upacara penyuciannya. Menurut dongeng kuno bahwa Bende Becak itu asalnya nama orang penabuh bendenya Prabu Brawijaya. Entah apa masalahnya akhirya ia kena sabda Kanjeng Sunan Bonang menjandi bende, dinamakan Bende Becak. Setelah menjadi bende ia menjadi pusakanya Kanjeng Sunan Bonang dan para wali lainnya. Adapun kegunaanya sewaktu-waktu ada keperluan penting bende tersebut dapat berbuyi tanpa ditabuh. Pada zaman kewalian bende itu berguna untuk mengumpulkan para wali, karena adanya sesuatu keperluan atau sebagai tanda (pemberitahuan)akan adanya sesuatu peperangan /musibah. 

Karena kekeramatan dari seorang wali, setiap peninggalan ataupun bekasnya akan mengandung hikmah yang besar. Sampai saat ini pusaka peninggalan Kanjeng Sunan Bonanag masih tersimpan dan terpelihara dengan baik di rumah kediaman Bapak Juru Kunci Pesarean Sunan Bonang.

SEJARAH SINGKAT PERJUANGAN SUNAN BONANG

Nama lengkap Sunan Bonang adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang.

Raden Ibrahim (Sunan Bonang) adalah putra R. Rochmat Sunan Ampel dengan Ny. Ageng Manila (Dewi Tjondrowati) putri R. Arya Tedja, salah satu tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut sumber, R. Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 1465 M.

Ketika R. Ibrahim berumur 7 tahun, beliau pergi mengaji ke Mesir selama 6 bulan. Setelah sampai di tanah Jawa, R. Ibrahim langsung masuk ke kebun ayahnya tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Beberapa hari kemudian Sunan Ampel baru mengetahui bahwa di dalam kebunnya ada seorang pemuda, anehnya saat itu Sunan Ampel tidak mengenal siapa dia sebenarnya dan dari mana asal usulnya. Ketika ditanya R. Ibrahim sendiri juga tidak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.

Oleh Sunan Ampel, R. Ibrahim dipercaya untuk mengajar dan menjadi kepala pondok milik Sunan Ampel. Perintah tersebut dilaksanakan dengan baik selama 40 hari, akhirnya barulah diketahui siapa sebenarnya pemuda tersebut.

R. Ibrahim mendapat perintah dari ayahnya untuk pergi mengembara dengan suatu wasiat agar R. Ibrahim naik ke Gunung Dumas, dan tidak boleh berhenti sebelum sampai di suatu hutan yang namanya Alas Kemuning. Bertahun-tahun R. Ibrahim mengembara tanpa makan dan tidur hingga akhirnya ditemui oleh Nabiyullah yang bernama Chidir, dan diperintah agar R. Ibrahim turun pada sebuah batu kemuning.

Empat hari kemudian Nabi Chidir menemui kembali dengan menunjukkan bahwa hutan inilah yang dimaksud dengan hutan atau alas Kemuning, serta memerintahkan agar R. Ibrahim bermukim di tempat itu. Setelah R. Ibrahim menetap di alas Kemuning, beliau mendapat perintah untuk berkhalwat (bertapa) pada sebuah batu, dan batu itulah yang kita kenal dengan Pasujudan (tempat sujudnya R. Ibrahim kepada Allah SWT).

Ketika R. Ibrahim berumur 30 tahun beliau menerima pangkat kewalian dari guru Mursyid, dan dikenal dengan nama Kanjeng Sunan Bonang.

R. Ibrahim Sunan Bonang mempunyai seorang santri yang bernama K. Nagur. K. Nagur inilah santri yang dapat dilihat oleh orang banyak. Sebab kebanyakan santri beliau tidak terlihat oleh mata manusia biasa.

Selang beberapa lama setelah beliau menerima pangkat wali (Sunan), beliau mendirikan sebuah masjid di Desa Bonang.

Diceritakan dalam sejarah, bahwa pada suatu ketika pernah ada seorang pendeta Hindu yang mengajak berdebat dengan Sunan Bonang, bahkan kemudian pendeta Hindu itupun mengakui kekalahannya, akhirnya bertobat serta menyatakan diri masuk Islam.

Pada masa hidupnya dikatakan, bahwa Sunan Bonang itu pernah belajar di Pasai. Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan Bangsawan dari Keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para Wali, serta pusat Kerajaan Islam. Raden Ibrahim Sunan Bonang menjadi Muballigh dan Imam di wilayah pesisir sebelah utara, mulai dari Lasem sampai Tuban. Disanalah Sunan Bonang mendirikan pondok-pondok sebagai tempat penggemblengan para santri dan muridnya. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Sunan Bonang tidak menikah sampai beliau wafat, tetapi dalam riwayat lain menyebutkan bahwa R. Ibrahim Sunan Bonang menikah dengan Dewi Hirah putri dari R. Jaka Kandar serta mempunyai keturunan satu yang bernama Dewi Rukhil.

Dewi Rukhil menikah dengan Sunan Kudus Ja’far Shodiq. Dari pernikahan Ja’far Shodiq dengan Dewi Rukhil binti Sunan Bonang lahirlah R. Amir Khasan yang wafat di Karimunjawa dalam status jejaka.

Tahun 1525 M, Raden Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang wafat dalam usia kurang lebih 60 tahun, dimakamkan di rumah kediaman beliau (Ndalem) di desa Bonang Lasem. Setengah riwayat menyebutkan bahwa makam beliau terletak di Tuban, ada pula yang mengatakan di Madura. Semua itu menunjukkan karomahnya Sunan Bonang yang mungkin terjadi bagi seseorang yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah). Hal ini mempunyai hikmah bagi para pengikutnya.

Tentang bangunan ndalem/pesarean Kanjeng Sunan Bonang ada yang berpendapat:
a. Dibangun oleh Saudagar dari Juwana.
b. Bekas rumah kadipaten Bonang Binangun Ny. Ageng Malaka (kakak Sunan Bonang).


Tambahan : Tentang perbedaan pendapat dimana Sunan Bonang dimakamkan ataupun tentang sejarah yang lain, bagi kami tidak pernah kami permasalahkan, beliau adalah kekasih Allah yang tidak seharusnya kami menjadikannya sebuah masalah dikarenakan perbedaan pendapat sejarah beliau. Hanya Allah SWT yang tau tentang kebenaran segala rahasia di dunia ini, dan kita semua bukanlah pelaku sejarah/saksi dimana ketika itu beliau masih hidup.

SEJARAH KOTA LASEM

1. Sekitar tahun 1351 M yang menjadi ratu di wilayah Lasem adalah seorang putrid yang bernama Dewi Indu (Indu Dewi). Beliau adalah putri dari Raden Kuda Merta dengan Dewi Prabu Hayam Wuruk di Wilwatika. 

2. Karena kecantikannya beliau diberi gelar Dewi Purnama Wulan.

3. Suaminya bernama Pangeran Rajasa Wardana dengan gelar Pangeran Panji Maladresmi. Beliau juga seorang Dang Puhawang (nahkoda) Wilwatikta, yang berkuasa di pelabuhan Kaerangan dan pelabuhan Regol Lasem merangkap sebagai Adipati di Metahun.

4. Dalam zaman pemerintahan Dewi Indu, masyarakat Lasem sangat tenteram dan makmur karena beliau sangat bijaksana dalam memegang pemerintahan.

5. Waktu itu masyrakat Lasem beragama Budha dan Syiwa.

6. Dari hasil perkawinan Dewi Indu dengan Pangeran Rajasa Wardhana menurunkan Pangeran Bodro Wardhana. Bodro Wardhana menurunkan P. Wijaya Bodro, P. Wijaya Bodro berputra P. Bodronolo.

7. Dewi Indu meninggal tahun 1382 M, sedang P. Rajasa Wardhana meninggal tahun 1383 M.

8. Sekitar tahun 1413 M datang seorang nahkoda bernama Bi Nang Un. Ia mempuyai 2 orang putra, lelaki bernama Bi Nang Na, dan yang perempuan bernama Bi Nang Ti (Putri Campa)

9. P. Bodronolo kawin dengan Bi Nang Ti (Putri Campa) dan mempuyai 2 orang putra P. Wirabadja dan P. Santi Badjra.

10. Putri Bi Nang Ti setelah kawin dengan P. Bodronolo namanya diganti menjadi Winarti Kusuma Wardhani.

11. Tahun 1468 M P. Bodronolo meninggal, dengan meninggal kan wasiat kepada anaknya :

a. Supaya abu layonya di makamkan kumpul dengan istrinya di Puntuk Regal.

b. Supaya putranya yang bernama P. Wirabadjra pindah ke Bonang.

c. Supaya rakyat nanti diperbolehkan memeluk agama Islam.

12. Selanjutnya yang menjadi dan menduduki Adipati Lasem ialah P. Wirabadjra.

13. P. Wirabadjra menjadi adipati pada tahun 1470 M. Ia tidak bertempat tinggal di Pura Kriyan, tetapi pindah di bumi Bonang Binangun, dekat makam orang tuanya di Puntuk Regal. Adapun Pura Kriyan ditempati adiknya yang bernama P. Santi Badjra.

14. Ketika P. Wirabadjra membangun dan berkuasa di Kadipaten Binangun, masyarakat nelayan yang biasa berlayar ke Tuban Gresik dan Ngampel sudah memeluk Agama Rasul (Islam).

15. P. Wirabadjra berputra P. Wiranagara, yang pada waktu kecilnya sudah berguru ke Ngampel, dan akhirnya menikah dengan putra pertama Maulana Rohmat Sunan Ngampel yang bernama Malekhah.

16. Setelah P. Wirabadjra meninggal, diganti oleh putranya yang bernama P. Wiranagara. Ia menjadi Adipati hanya 5 tahun.

17. P. Wiranagara menikah dengan putrid Malekhah mempunyai 2 putra :

a. Solekhah (istri P. Aria Tun Bun Nahkoda Demak).

b. Seorang anak yang mati etika masih bayi.

18. Tahun 1479 M Pangeran Wiranagara meninggal, pemerintahan Kadipaten Binangun dipegang oleh Putri Malekhah (janda P. Wiranegara) yang masih berumur 28 tahun.

19. Tahun 1480 M, Kadipaten Binangun dipindah ke Lasem oleh Malekhah dan bertempat di Bumi Cologawan berhadapan dengan rumah kepanggenan Kriyan yang ditempati oleh P. Santi Puspa.

20. Rumah Kadipaten Malekhah menghadap ke selatan sebelah utara jalan besar, banyak pohon sawo kecil dan kembang kantil.

21. Adapun bekas kadipaten Bonang, disuruh menempati adiknya yang bernama R. Makdum Ibrahim (putra R. Rahmat).

22. Makdum Ibrahim seorang jejaka yang bertugas sebagai guru ngaji dan Modin.

23. Ketika berumur 30 tahun, beliau diwisuda oleh Sunan Agung Ngampel sebagai wali Negara Tuban, dalam hal keagamaan dan ketauhidan dengan pangkat Sunan, dan menempati bekas ndalem/rumah kakaknya Malekhah.

24. Di Bonang, Makdum Ibrahim bertugas pula menjaga dan mengawasi makam Putri Campa (Bi Nang Ti) sekalian di Puntuk Regol, dan makam P. Wirabadjra serta P. Wira Negar di Bumi Keben.

25. Batu yang terdapat di makam Putri Campa diratakan, batunya digunakan untuk sujud (pasujudan).

26. Putri Malekhah memindahkan Kadipaten Binangun ke Lasem dengan maksud :

a. Mendekati P. Sati Puspa, untuk digunakan benteng pengayoman dan penasehat di dalam memegang pusat pemerintahan Lasem.

b. Mengingat bahwa P. Sati Puspa adalah seorang yang dicintai dan disegani oleh masyarakat Lasem, dan warga nelayan dari pesisir Demak sampai Sedayu.

c. Supaya hatinya terhibur sebab ditinggal mati anaknya dan ditinggal anaknya Solekhah yang dibawa suaminya ke Demak yang bernama Aria Tum Bun.

27. Untuk menghibur hatinya, Malekhah membuat gedung dan pertamanan yang diberi nama Taman Setya Tresna, yang di kemudian hari berubah nama menjadi Caruban.

28. Setelah Makdum Ibrahim menjadi Wali, beliau bertambah giat didalam menyiarkan agama Islam dari Lasem sampai Tuban.

29. Sebaliknya Malekhah karena selalu bergaul dengan P. Sati Puspa malah termakan oleh ilmu dan wejangannya, sehingga ia berani meninggalkan shalat dan puasa, sehingga Sunan Bonang kecewa dan tidak mentaati perintah Malekhah untuk menjaga makam Putri Campa dan makam Keben. Selanjutnya pulang ke Pranggakan Tuban sampai berbulan-bulan.

30. Putri Malekhah menjadi janda sampai umur 39 tahun dan memegang pemerintahan dalam keadaan aman dan tenteram atas bantuan P. Sati Puspa.

31. Setelah Malekhah meninggal, kekuasaan Kadipaten Lasem dirangkap oleh P. Sati Puspa dengan dibantu oleh adiknya yang bernama P. Santi Yoga yang diperintahkan menempati Kadipaten Cologawan.

32. Karena ditinggal ayahnya ke Majapahit, P. Sati Puspa yang lahir sekitar tahun 1451 M, ketika berumur 18 tahun, diutus ayahnya menempati rumah Pura Kriyan bersama ibunya beserta adik-adiknya yang berjumlah 9 orang. Hingga umur 39 tahun ia belum mau kawin dahulu sebelum adik-adiknya kawin. Adapun adik-adiknya adalah :

1. Sulastuti, dikawin oleh Adipati Matedun.
2. Santowiro, menjadi Ky. Ageng Bedok.
3. Sulantri, dikawin oleh Tumenggung Pamotan.
4. Sulandjari, dikawin oleh Ky. Ageng Ngatoko di Karangasem dan Genuk.
5. Silarukmi, dikawin oleh Demang Ngadem.
6. Santi Yoga alias Ny. Agung Gede, sebagai Kepala Patol Gede - Sarang.
7. Santi Darmo, Demang Bakaran, daerah Juwono Jakenan.
8. Selogati istri Ky. Ageng Sutiana Criwik.
9. Santi Kusuma.

33. Santi Kusuma lahir tahun 1468 M. Umur 1 tahun ditinggal pergi ayahnya ke Majapahit selama 10 tahun, umur 2 tahun ditinggal mati ibunya.

34. Santi Kusuma kerapkali diajak kakaknya berlayar dan sowan Eyangnya yang bernama Sunan Bejagung ke Tuban. Sunan Bejagung adalah Adipati Tuban.

35. Umur 19 tahun Santi Kusuma masuk Islam dengan nama R. Mas Said (P. Lokawijaya) dan sangat erat hubungannya dengan Sunan Bonang.

36. P. Sati Puspa berputra P. Kusuma Bodro, P. Kusuma Bodro berputra P. Santi Wiro, Santi Wiro berputra P. Tedjakusuma I.

37. P. Tedjakusuma I menurunkan P. Tedjakusuma II-III-IV-V.

38. P. Tedjakusuma I menikah dengan putri Sultan Pajang dan diangkat menjadi Adipati Lasem TAHUN 1585 M.

39. Tedjakusuma V menurunkan R. Panji Margana (Ki Ageng Tulbaya) R. Panji menurunkan R. P. Witono, R. Witono menurunkan R. P. Khamzah.

40. Tedjakusuma I, pada tahun 1588 M mendirikan Masjid Lasem, bertempat di sebelah barat alun-alun.

41. Tedjakusuma I, seorang pertapa di Puntuk Punggur. Dan ketika masih kecil diberi parap (gelar) ibunya Bagus Serimpet.

42. Untuk menyebarkan agama Islam di Lasem, Tedjakusuma I mendatangkan seorang guru dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi pada tahun 1625 M, dan pada akhirnya Syeh Sam Bua diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa selir.

43. Tedjakusuma I, alias Ky. Ageng Punggur alias Bagus Serimpet wafat pada tahun 1632 M dalam usia 77 tahun, dimakamkan di belakang Masjid Kota Lasem dibelakang imaman.

44. Syeh Maulana Sam Bua Samarkandi wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun dimakamkan di sebelah utara serambi masjid kota Lasem.

BERDIRIYA KERAJAAN ISLAM DEMAK

Kerajan Majapahit yang pernah mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada, akhirnya sekitar tahun 1478 mengalami keruntuhan. Sebab runtuhnya Majapahit ialah : 

a. Sesudah Patih Gajah Mada wafat tahun 1364 M, dan Prabu Hayam Wuruk mangkat tahun 1389 M, Majapahit tidak mempuyai pimpinan yang cakap.
b. Perang Paregrek tahun 1401-1406 antara Bhre Wirah Bumi dengan R. Wikrama Wardhana, benar-benar melemahkan majapahit.
c. Perdagangan Majapahit mundur, sebab terdesak oleh perkembangan Malaka.
d. Makin meluasnya pengaruh Islam dalam masyarakat dan berdirinya kerajaan Islam di daerah pantai.

Tahun 1474 M, Raden Patah kembali dari Palembang ke Majapahit yang akhirnya menjadi santri/murid dari R. Rohmat Sunan Ampe. Atas perintah Sunan Ampel tahun 1475 M, Raden Patah mulai melaksanakan dan membuka Madrasah/Pondok Pesantren di desa Glagahwangi (Bintoro), yang pada akhirya Bintoro menjadi pusat ilmu pengetahuan agama, pusat perdagangan dan pusat Kerajaan Islam pertama di Jawa.

Tahun 1478 M. Sunan Ampel wafat setelah bersama-sama para wali mendirikan Masjid Demak. Setelah wafatnya Sunan Ampel, musyawarah para wali tanah Jawa telah memutuskan mengakat dan menetapkan R. Patah sebagai Kholifah. Tahun 1500 M, R. Patah mendirikan Kerajaan Demak.

Kerajan Islam Demak mengalami perkembangan dan menjadi kerajaan besar adalah berkat kepemimpinan R. Patah yang didukung para wali tanah Jawa, sayang hal itu hanya berlangsung singkat, karena pada tahun 1518 M Raden Patah wafat dan diganti oleh putra mahkota yang bernama R. Pati Unus

Tahun 1521 M, Raden Pati Unus wafat dan diganti oleh adiknya yang bernama Sultan Trenggana. Dalam usaha menaklukkan Pasuruan pada tahun 1546 M Sultan Trenggana gugur, yang berakibat terjadinya perebutan kekuasaan diantara keluarga kesultanan. Setelah Jaka Tingkir yang bergelar Sultan Adiwijaya (menantu Sultan Trenggana) naik tahta, kerajaan dipindahkan dari Demak ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah Kerajanan Demak, dan berpindahlah dengan Kerajaan Pajang.

Raden Patah adalah menantu Raden Rahmat Sunan Ampel, menikah dengan Dewi Murtasimah dari ibu Dewi Karimah putra dari K. Bang kuning, yang menurunkan :

1. Pangeran Purba (P. Pati Unus )
2. Pangeran Trenggana
3. R. Bagus Sedoleper
4. R. Kenduruhan
5. Dewi ratih

R. Patah Sultan Demak adalah putra R. Kertabumi Brawijaya ke V dengan ibu Dewi Indrawati dari Campa, yang berkuasa tahun 1468-1478 M.

Ada keterangan yang menjelaskan bahwa ibu R. Patah tersebut adalah istri Prabu Brawijaya yang dihadiahkan kepada putranya dari Palembang yang bernama P. Arya Damar.

Pada tahun 1929 Residen Poortman dari negeri Belanda datang ke Indonesia, dan menemukan kronik Sam Po Kong di Semarang yang menyebutkan bahwa ayah dari R. Patah adalah bernama King Ta Bumi (Kertabumi) sedang ayah P. Arya Damar adalah Hyang Wisesa yang menikah dengan Ni Endang Sasmitrapura.

Kesimpulan :
1. Kalau toh P. Arya Damar dari Palembang benar telah menerima hadiah seorang putri Campa dari ayahnya, maka yang dimaksud Prabu Brawijaya ayah Arya Damar adalah Hyang Wisesa.
2. Sedang R. Patah adalah Putra King Ta Bumi (Kertabumi Brawijaya ke V).
3. Jadi R. Patah bukanlah putra yang lahir dari rahim Putri Cina, hadiah Prabu Brawijaya kepada Arya Damar. Sam Po Kong hanya menerangkan bahwa P. Arya Damar (Swan Liong) di Palembang pernah mengasuh dua orang putra Majapahit bernama Jin Bun dan King San (R. Khasan/R. Patah dan R. Khusen.

Album Foto 001



















KATA PENGANTAR


Assalamu'alaikum wr. wb.

Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga saya dapat menulis dan membuat blog sederhana yang berisi Sejarah Singkat Perjuangan Kanjeng Sunan Bonang dan beberapa sejarah yang lain.

Harapan saya semoga blog ini dapat sedikit membantu menambah pengetahuan bagi para pembaca dan berguna bagi umat Islam pada umumnya.

Saya menyadari bahwa blog ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan blog ini.

Demikian sedikit tulisan kata pengantar dari saya, semoga kita semua senantiasa diberikan nikmat Islam, iman dan ikhsan dari Allah SWT, Amin…

Wassalamu'alaikum wr. wb.


Bonang, 8 Dzul Hijjah 1433 H
24 Oktober 2012