Masjid Sunan Bonang

Masjid yang didirikan oleh Sunan Bonang di Desa Bonang Kec. Lasem hanya dalam waktu satu malam.

Ndalem Kanjeng Sunan Bonang

Ndalem dan tempat Kanjeng Sunan Bonang dimakamkan.

Pasujudan Sunan Bonang

Pasujudan Sunan Bonang adalah tempat favorit Sunan Bonang untuk bermunajat mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Acara Bende Becak

Bende Becak adalah salah satu alat yang digunakan Sunan Bonang untuk berdakwah menyebarkan agama Islam.

Suasana Haul Sunan Bonang

Suasana Haul Sunan Bonang di Pesarean Sunan Bonang.

Kisah Nyata: Mayat Membaca Al Quran di Dalam Kubur

Kisah ada mayat membaca Al Quran di dalam kubur ini adalah benar benar sebuah kisah nyata yang terjadi di pekuburan Haji di Arab Saudi.

Kisah ini diceritakan oleh pelajar-pelajar yang menimba Ilmu di Arab Saudi dan dibenarkan oleh Ustadz Halim Naser seorang peneliti Muslim.

Kisah ini terjadi  di Ma’la, tempat pengebumian para jemaah haji yang meninggal dunia di Mekah. Setiap jamaah haji yang meninggal akan dimakamkan disini dan setiap delapan bulan makam makam tadi akan digali kembali untuk para jamaah Haji yang meninggal.

Nah suatu hari ada sebuah makam yang digali kembali untuk memakamkan salah satu jenazah jamaah Haji yang meninggal dunia. Ketika lubang kubur ini digali lagi apa yang terjadi orang orang penggali kubur tadi terkejut dan meloncat dari dalam lubang kubur tadi, nah tahukah kamu apa yang pengali kubur tadi lihat, ternyata ada sebuah mayat yang sedang membaca Al Quran.

Orang yang ada disekitar makam pun penasaran dan memastikan kondisi mayat tadi ternyata setelah dilihat mereka melihat  ada mayat sedang bersila dan mayat tersebut sedang membaca Al Quran.

Seterusnya. Ayat Quran yang terbuka ialah Surah Yasin. Satu lagi perkara ialah mayat tersebut tidak hancur dan kain kafan yang membalutinya juga tetap utuh. Yang yang tidak ada hanyalah kapas yang diletakkan di antara mayat dengan kain kafan (kain ihram).

Setelah diselidiki siapa mayat yang di dalam kubur yang membaca Quran ini ternyata ia adalah orang kulit hitam yang bekerja membersihkan Baitullah dari tumpahan air zam-zam. Dan ketika perkerjaannya sudah selesai dari membersihkan Baitullah dari tumpahan air zam-zam, dia akan duduk di satu sudut Baitullah dan membaca Surah Yasin.

Ini merupakan bukti kebesaran Allah kepada siapa saja yang mengabdikan dirinya untuk berbakti ke jalan Allah.
Oleh Ustadz Halim Naser seorang peneliti Muslim

Sumber : palingseru.com

Ketika Nabi Menunda Orang Masuk Islam

Satu lagi peristiwa mencengangkan ditunjukkan Rasulullah pada saat penaklukan kota Makkah. Kota Suci dikuasai umat Islam. Lawan perang benar-benar tak berkutik. Tapi, Nabi Muhammad memang punya cara-cara tersendiri dalam menghadapi mantan musuh-musuhnya.

Tak ada darah menetes di dalam ataupun sekitar Masjidil Haram. Penghancuran patung berhala di sekeliling Ka’bah pun dilakukan atas permintaan penduduk Makkah. Sejak awal, Nabi mewanti-wanti berbagai bentuk kekerasan dan perusakan karena musuh tidak lagi menyerang.

Sikap anti-pemaksaan justru mengantarakan peristiwa Fathul Makkah pada kemenangan yang kian gemilang. Musyrikin Quraisy berbondong-bondong memeluk Islam, terutama setelah pemimpin tertinggi mereka, Abu Sofyan berikut keluarganya secara suka rela mengucapkan dua kalimat syahadat.

Hanya saja, kesadaran tauhid tidak selalu berlangsung segera. Seorang panglima Quraisy bernama Shofwan bin Umayyah sempat berketetapan masuk Islam tapi urung. Dia membutuhkan beberapa waktu untuk membulatkan niatnya itu.

“Berilah saya waktu seminggu untuk berpikir, apakah saya harus masuk Islam atau tidak,” kata Shofwan kepada Nabi.

“Jangan seminggu,” sergah Nabi.

Shofwan kaget dan bertanya, “Apakah itu terlalu lama?”

“Tidak,” Rasulullah menyahut, “Terlalu singkat. Kuberi kau waktu selama dua bulan. Apakah akan mengucapkan syahadat atau tidak. Pikirkanlah masak-masak sebab Islam adalah agama bagi orang-orang berakal dan menggunakan akalnya untuk berpikir. Tiada agama bagi orang yang tak memiliki akal.” (Mahbib)

Cinta Imam al-Ghazali untuk Lalat

Jika disebutkan nama Imam al-Ghazali maka gambaran yang muncul adalah sosok ulama abad pertengahan dengan reputasi kealiman yang tak diragukan. Ia termasuk cendekiawan muslim yang komplet.

Wawasannya tak berhenti pada soal teks agama. Tokoh bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'I ini menguasai disiplin filsafat dan menaruh prioritas pada olah rohani sebagai seorang sufi yang taat.

Para kritikus al-Ghazali bisa saja berseberangan dengan beberapa pikirannya. Namun, mereka tak mungkin membantah kepribadian hujjatul islam ini yang zuhud, wara’, serta amat tekun menjalankan ibadah.

Kesungguhannya dalam beribadah tampak pula pada beberapa karyanya yang sarat anjuran melaksanakan amalan-amalan tertentu sebagai sarana penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pengabdian tulus seorang hamba. Kitab tasawuf dasar,Bidayatul Hidayah, yang dikarangnya pun mengungkapkan kenyataan ini.

Hanya saja, terselip kisah unik di balik totalitas Imam al-Ghazali dalam beragama pasca-kewafatannya. Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad menulis cerita seseorang yang berjumpa Imam al-Ghazali dalam sebuah mimpi. “Bagaimana Allah memperlakukanmu?” tanya orang tersebut.

Imam al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya. Al-Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu per satu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.

“Aku (Allah) menolak itu semua!” ternyata Allah menampik berbagai amalan Imam al-Ghazali kecuali satu kebaikannya ketika bertemu dengan seekor lalat.

Saat itu Imam al-Ghazali tengah sibuk menulis kitab hingga seekor lalat mengusiknya barang sejenak. Lalat “usil” ini haus dan tinta di depan mata menjadi sasaran minumnya. Sang Imam yang merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk memberi kesempatan si lalat melepas dahaga dari tintanya itu.

“Masuklah bersama hamba-Ku ke sorga,” kata Allah kepada Imam al-Ghazali dalam kisah mimpi itu.

Hikayat ini mengandung pesan tentang betapa dahsyatnya pengaruh hati yang sanggup mengalahkan egoisme kepentingan diri sendiri. Kasih sayang Imam al-Ghazali yang luas, bahkan kepada seekor lalat pun, membawa tokoh dengan jutaan pengikut ini pada kemuliaan

Peristiwa ini secara samar menampar sebagian kalangan yang kerap membanggakan capaian-capaian keberagamaannya. Karena ternyata penilaian ibadah manusia sepenuhnya milik-Nya, bukan milik manusia. Tak ada ruang bagi manusia menghakimi kualitas diri sendiri ataupun orang lain. Segenap prestasi ibadah dan kebenaran agama yang disombongkan bisa jadi justru berbuah kenistaan.

Imam al-Ghazali sesungguhnya hanya mempraktikkan apa yang diteladankan dan diperintahkan Nabi, “Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama’. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.” (Mahbib)