Masjid Sunan Bonang

Masjid yang didirikan oleh Sunan Bonang di Desa Bonang Kec. Lasem hanya dalam waktu satu malam.

Ndalem Kanjeng Sunan Bonang

Ndalem dan tempat Kanjeng Sunan Bonang dimakamkan.

Pasujudan Sunan Bonang

Pasujudan Sunan Bonang adalah tempat favorit Sunan Bonang untuk bermunajat mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Acara Bende Becak

Bende Becak adalah salah satu alat yang digunakan Sunan Bonang untuk berdakwah menyebarkan agama Islam.

Suasana Haul Sunan Bonang

Suasana Haul Sunan Bonang di Pesarean Sunan Bonang.

Kisah Orang Shalih & Gajah yang Menakjubkan

Abu Abdillah al-Qalanisi dalam sebuah perjalanannya dengan mengendarai perahu. Tiba-tiba angin kencang menggoncangkan perahu yang ditumpanginya. Seluruh penumpang berdoa dengan khusyu’ demi keselamatan mereka dan mengucapkan sebuah nadzar.
Para penumpang berkata kepada Abu Abdillah, “Masing-masing kami telah berjanji kepada Allah dan bernadzar agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kami. Maka hendaknya kamu juga bernadzar dan bersumpah kepada Allah.” Dia menjawab, “Aku ini orang yang tidak perduli dengan dunia, aku tidak perlu bernadzar.”

Tetapi mereka memaksaku. Lalu aku bersumpah, “Demi Allah, sekiranya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkanku dari musibah yang menimpaku maka aku tidak akan makan daging gajah.”

Mereka bertanya, “Apakah boleh bernadzar seperti itu? Apakah ada orang yang mau makan daging gajah.?” Aku menjawab, “Itulah pilihanku, semoga Allah memberi ganjaran atas lisanku yang mengucapkan kata-kata itu.”

Benar, tidak lama kemudian kapal itu pecah.
Para penumpang terdampar di sebuah pantai. Berhari-hari kami berada di pantai tersebut tanpa makan sesuatu pun.

Ketika kami sedang duduk-duduk beristirahat, ada anak gajah lewat di depan kami. Mereka menangkap anak gajah tersebut, menyembelih lalu memakannya. Mereka menawariku makan seperti mereka. Aku menjawab, “Aku telah bernadzar dan bersumpah kepada Allah untuk tidak makan daging gajah.”

Mereka mengajukan alasan, bahwa aku dalam keadaan terpaksa, sehingga dibolehkan untuk membatalkannya. Aku menolak alasan mereka, aku tetap memenuhi sumpahku. Setelah makan, mereka merasa kenyang lalu tidur.

Pada saat mereka tidur, induk gajah datang mencari anaknya, ia berjalan mengikuti jejak anaknya sambil mengendus-endus. Hingga akhirnya ia menemukan potongan tulang anaknya.

Induk gajah itu pun sampai di tempat istirahat kami, aku memperhatikannya. Satu orang demi satu orang dia ciumi, setiap kali ia mencium bau daging anaknya pada orang itu, maka orang itu diinjak dengan kaki atau tangannya sampai mati. Kini mereka semua telah mati.

Tiba saatnya induk gajah mendekatiku, ia menciumku tapi tidak mendapatkan bau daging anaknya pada diriku. Lalu ia menggerakkan tubuh bagian belakangnya, ia memberi isyarat, kemudian mengangkat ekor dan kakinya.

Dari gerakan tubuh gajah itu aku mengerti bahwa ia menghendaki agar aku menungganginya. Lalu aku naik, duduk di atasnya. Ia memberi isyarat agar aku duduk dengan tenang di atas punggungnya yang empuk. Ia membawaku berlari kencang sehingga malam itu juga aku tiba di sebuah perkebunan yang banyak pepohonan. Ia memberi isyarat agar aku turun dengan bantuan kakinya, maka aku pun turun. Kemudian ia berlari lebih kencang dari pada saat ia membawaku tadi.

Di pagi hari, aku menyaksikan di sekilingku hamparan sawah, perkebunan dan sekelompok orang. Orang-orang tersebut membawaku ke rumah kepala suku. Juru bicara suku itu memintaku berbicara. Kemudian aku ceritakan tentang diriku dan kejadian yang dialami sekelompok orang dan rombongan dalam perahuku.

Juru bicara itu bertanya kepadaku, “Tahukah kamu berapa jauh jarak perjalananmu dengan seekor gajah itu.?” Aku jawab, “Tidak tahu!” Ia menjawab, “Sejauh perjalanan selama 8 hari! Sementara Gajah itu membawamu lari hanya dalam satu malam.”

Selanjutnya aku diperkenankan tinggal bersama mereka di desa tersebut sehingga aku mendapat pekerjaan. Setelah itu aku pulang ke kampungku.


Kisah Teladan Sayyidina Umar bin Khattab yang Peduli Rakyat

Pada akhir abad ke-17 Hijriah, kaum Muslimin sedang menikmati kemenangan pasukan mereka dalam peperangan di Iraq dan Syam. Namun di tengah kegembiraan itu, mereka diuji dengan musim kemarau panjang. Selama sembilan bulan hujan tidak turun, bumi gersang dan penuh debu, manakala hewan dan tanaman menjadi korban.
Namun, keadaan Madinah tidak terlalu buruk karena di bawah pemerintahan Umar Al-Khattab, penduduk Madinah dibiasakan untuk menyimpan makanan. Masyarakat dari kawasan lain datang memenuhi Madinah untuk mendapatkan sumber makanan. Keadaan ini menyebabkan Madinah turut menghadapi kekurangan bahan makanan.
Ketika keadaan ini mencapai puncaknya, Umar pernah diberikan roti yang dicampur mentega. Umar memanggil seorang Badwi dan mengajaknya makan bersama. Dia tidak memasukkan makanan ke mulutnya sebelum Badwi itu melakukannya lebih dahulu. Orang Badwi itu terlihat benar-benar menikmati roti tersebut.
“Agaknya, kau tidak pernah memakan mentega?” tanya Umar.
“Ya,” jawab Badwi itu.
“Saya tidak pernah makan dengan mentega atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan siapapun memakannya sampai sekarang,” tambahnya.
Mendengar kata-kata Badwi itu, Umar bersumpah untuk tidak memakan mentega hingga semua orang hidup seperti sediakala. Kata-kata ini benar-benar dibuktikan dan diabadikan sampai saat ini.
“Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin menjadi orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kenyang, aku ingin menjadi orang terakhir yang menikmatinya,” ujar Umar. Padahal, Umar pada masa itu boleh menggunakan fasilitas negara apa saja yang ada.
Pada saat itu kekayaan Iraq dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Namun Sayyidina Umar memilih untuk bersama-sama rakyatnya. Begitulah hebatnya peribadi Sayyidina Umar r.a. sebagai seorang pemimpin ummat.